By. Moeflich
Hasbullah
*
Indonesia itu memiliki banyak sekali pahlawan lho, tak cuma yang bergelar pahlawan, yang lebih banyak itu pahlawan tak dikenal. Lho kok tak dikenal? Lha iya, pahlawan itu kan yang ikhlas berjuang demi masyarakat, bangsa dan negara. Disebut pahlawan kan oleh orang lain. Pahlawan itu hatinya mbak malaikat saja. Pahlawan tak dikenal itu diantaranya kawan saya ini. Sebut saja namanya Kang Ahmad, tentu bukan nama aslinya. Sesuai sebutan kita, Ahmad itu artinya “terpuji.”
Indonesia itu memiliki banyak sekali pahlawan lho, tak cuma yang bergelar pahlawan, yang lebih banyak itu pahlawan tak dikenal. Lho kok tak dikenal? Lha iya, pahlawan itu kan yang ikhlas berjuang demi masyarakat, bangsa dan negara. Disebut pahlawan kan oleh orang lain. Pahlawan itu hatinya mbak malaikat saja. Pahlawan tak dikenal itu diantaranya kawan saya ini. Sebut saja namanya Kang Ahmad, tentu bukan nama aslinya. Sesuai sebutan kita, Ahmad itu artinya “terpuji.”
Kang
Ahmad tinggal di Bandung, ia orang biasa. Pekerjaannya serabutan tapi dia
memiliki hati yang mulia dan elmu kehidupannya mumpuni. Elmunya didapatkan dari
pengalaman hidupnya yang banyak. Orang belajar di sekolah formal, Kang Ahmad
belajar di sekolah kehidupan. Hatinya makin lama makin peka. Ia lulusan
universitas kehidupan. Universitas ini banyak menghasilkan lulusannya jauh
lebih matang kemanusiaannya ketimbang universitas formal yang mahal itu.
Diantaranya seperti Kang Ahmad yang akan saya ceritakan ini.
Suatu
hari Kang Ahmad ngopi di sebuah warung. “Bismillahirrahmanirrahim …”
lirihnya sebelum menyedot kopi panas oleh mulutnya. “Alhamdulillaah …”
setelahnya. Ia merasakan kopinya nikmat. “Duuh … Akang, seneng sekali
mendengarnya, tak lepas dari nama Gusti Allah,” kata Mayang, penunggu
warung itu. Agak gemuk tapi parasnya cantik dan kulitnya putih mulus. Ramah
pada setiap pengunjung. Banyak orang sering ngopi disitu karena Mayangnya itu.
“Yaa …
kan segala nikmat yang kita rasakan kan pemberian Gusti Allah! Ya kita harus
banyak menyebut namanya dong …”
“Iya ya …”
“Semakin sering nyebut Gusti Allah, saya semakin tenang.”
“Iya ya …”
“Semakin sering nyebut Gusti Allah, saya semakin tenang.”
Ahmad tak hafal dalil-dalil agama, tapi bila ngomong soal benar salah dalam kehidupan ia akan panjang lebar penuh semangat 45, renungannya dalam dan mulutnya susah berhenti. Mayang seneng kalau Kang Ahmad datang ke warungnya, beda dengan yang lain, ngomongnya agama terus. Bukan dalil, tapi agama sebagai sikap dan kesadaran sehari-hari.
“Kang
sekalian ya saya mau tanya ya. Boleh kan?”
“Ada apa …?”
“Suami saya sekarang sedang membenci saya. Saya stres kalau pulang, harus gimana. Sebabnya, karena ketahuan ada sms ke saya: ‘Mamah lagi apa, gimana warungnya sudah tutup belum jam segini?’ Sms itu kebaca sama suami saya. Dia cemburu dan marah berat sampai sekarang. Suami saya jarang dirumah dan sudah tiga hari gak nanya. Saya gak mau keluarga jadi berantakan.”
“Ada apa …?”
“Suami saya sekarang sedang membenci saya. Saya stres kalau pulang, harus gimana. Sebabnya, karena ketahuan ada sms ke saya: ‘Mamah lagi apa, gimana warungnya sudah tutup belum jam segini?’ Sms itu kebaca sama suami saya. Dia cemburu dan marah berat sampai sekarang. Suami saya jarang dirumah dan sudah tiga hari gak nanya. Saya gak mau keluarga jadi berantakan.”
Dari cara komunikasi, cara berbicara dan caranya memperlakukan pengunjung, Kang Ahmad tahu Mayang adalah seorang istri yang baik. Ia jualan kopi membantu suaminya yang penghasilannya pas-pasan. Ia pun pandai menjaga diri. Warungnya, lumayan menambah biaya anaknya di sekolah perawat. Melihat perempuan baik itu bekerja keras untuk membantu suaminya, hati Kang Ahmad merasa kasihan dan hatinya mengatakan keluarga ini harus diselamatkan. Ia meminta Mayang menceritakan urutan kejadiannya. Intinya, Mayang ngaku khilaf ngasih nomor hape pada salah seorang pengunjungnya padahal gak bermaksud macam-macam. Biasa lah, melihat paras aduhai, laki-laki selalu saja mencari celah memanfaatkan kesempatan.
Kang
Ahmad memutar otak, gimana cara menolongnya. Membantu kesulitan orang, ia sudah
biasa. Bisa dibilang, itu sudah pekerjaannya sehari-hari.
“Gini
saja,”
tukasnya, ”gimana kalau suamimu itu kita temui?”
“Mau apa Kang …?”
“Ya kita selesaikan. Saya akan berpura-pura jadi orang yang meng-sms itu.”
“Waah … gawat, nanti ribut kang, terus mau apa?”
“Gaak .. dijamin. Saya akan membantumu, ini harus diselesaikan. Saya akan berterus terang telah khilaf, minta maaf dan menjelaskan bahwa kita belum pernah berbuat apa-apa.”
Perempuan itu ketakutan, ia membayangkan reaksi suaminya.
“Dijamin, tidak akan ada keributan,” tegas Kang Ahmad sekali lagi. Setelah diyakinkan, perempuan itu mau. Esoknya, berangkatlah mereka ke rumah mertuanya. Mayang masih tinggal di kawasan Komplek Mertua Indah.
“Mau apa Kang …?”
“Ya kita selesaikan. Saya akan berpura-pura jadi orang yang meng-sms itu.”
“Waah … gawat, nanti ribut kang, terus mau apa?”
“Gaak .. dijamin. Saya akan membantumu, ini harus diselesaikan. Saya akan berterus terang telah khilaf, minta maaf dan menjelaskan bahwa kita belum pernah berbuat apa-apa.”
Perempuan itu ketakutan, ia membayangkan reaksi suaminya.
“Dijamin, tidak akan ada keributan,” tegas Kang Ahmad sekali lagi. Setelah diyakinkan, perempuan itu mau. Esoknya, berangkatlah mereka ke rumah mertuanya. Mayang masih tinggal di kawasan Komplek Mertua Indah.
Begitu
sampai di pagar dan mengucapkan salam: “Eeemh …. pantaaas … begitulah
rupanya kelakuan perempuan yang tak tahu diuntung. Baru juga usaha warung kopi,
kelakuannya sudah liar. Sakiiit … hati ibu mendengar cerita tentang kamu. Mau
apa kesini?” Hardik Ibu mertuanya. Mertua laki-lakinya keluar dan
memuncratkan amarah yang sama.
Mayang
tersentak dan bingung. “Biarkan …. biarkan saja, gak usah terpancing,
tenangkan ..!” Bisik Kang Ahmad.
“Assalamu’alaikum
Buu ….” Kata
Kang Ahmad.
“Mau apa kesini laki-laki hidung belang? Berapa perempuan sudah kamu sikat hah? Dia itu sudah punya suami, tahuu ..??”
“Saya kesini mau bersilaturahmi, terutama ke putra ibu, suaminya Mayang.”
“Mau apa, mau ngerebut?? Dasar laki-laki rusak. Langsung saja bilang pada suaminya!”
“Mau apa kesini laki-laki hidung belang? Berapa perempuan sudah kamu sikat hah? Dia itu sudah punya suami, tahuu ..??”
“Saya kesini mau bersilaturahmi, terutama ke putra ibu, suaminya Mayang.”
“Mau apa, mau ngerebut?? Dasar laki-laki rusak. Langsung saja bilang pada suaminya!”
Suaminya
sedang diluar rumah, Mayang menelpon. Awalnya tak mau nerima, setelah istrinya
merayu, ia mau datang. Tentu sambil hatinya masih bergolak 90 derajat selcius.
“Mau apa
kesini? Ngapain pulang? Teruskan saja kelakuanmu itu!” Bentak laki-laki itu pada
istrinya begitu turun dari motornya.
“Assalamu’alaikum
Kang,” sapa
Ahmad pada lelaki itu.
“Ooh … ini ya orangnya? Mau apa kamu?”
“Saya datang kesini berniat baik, ingin silaturahmi, bagaimana kalau kita ngobrol baik-baik. Dengan emosi masalah ini tidak akan selesai. Insya Allah nanti setelah Akang mendengar penjelasan saya, masalah ini akan selesai.” Lelaki itu agak luluh, mereka bertiga masuk ke ruang tamu. Ibu bapaknya di ruang tengah.
“Ooh … ini ya orangnya? Mau apa kamu?”
“Saya datang kesini berniat baik, ingin silaturahmi, bagaimana kalau kita ngobrol baik-baik. Dengan emosi masalah ini tidak akan selesai. Insya Allah nanti setelah Akang mendengar penjelasan saya, masalah ini akan selesai.” Lelaki itu agak luluh, mereka bertiga masuk ke ruang tamu. Ibu bapaknya di ruang tengah.
“Kang,
terus terang yang nge-sms itu saya.” Ahmad memulai pembicaraan. “Saya benar-benar
mohon maaf telah khilaf. Istri Akang tidak salah, sayalah yang salah. Sekarang
saya sudah di depan Akang, silahkan saya mau diapakan juga saya terima,
silahkan, saya tidak akan melawan sedikitpun.”
“Ngapain
kamu mengganggu …”
“Begini
Kang, sebelum memarahi saya habis-habisan, tolong saya dulu yang berbicara.
Tolong dengar dulu penjelasan saya biar Akang faham,” Ahmad berniat mau mendominasi
pembicaraan.
“Kang,
mengapa saya meng-sms seperti itu? Sebenarnya wajar, karena di warung itu semua
orang juga memanggilnya “Mamah.” Tanya saja pada istri Akang ini. Mengapa
memanggil Mamah, karena sikap istri akang yang lembut, ramah dan keibuan pada
semua orang. Mereka mengibukan. Saya pun memanggilnya sama. Apa salahnya?
Mengapa saya meng-sms. Saya ini pelanggan warung Akang, saya kadang ingin ngopi
kesitu malam-malam, karena tempat itu sering saya lalui dan tempatnya enak dan
nyaman buat ngopi. Kalau saya nanya dulu ke istri akang, kan saya jadi tahu
sudah tutup atau belum. Apa akang mau kehilangan pelanggan? Saya sering kesitu
Kang, kadang-kadang bawa beberapa teman. Mengapa akang sensitif dan marah,
karena istri akang cantik dan akang ketakutan direbut orang!! Iya kan??”
“Iya,
tapi diakan sudah punya suami ..”
“Kang,
bila Akang mengetahui istri salah menerima sms begitu,mengapa Akang sebagai
suami diam saja? Harusnya, begitu mengetahui ada sms begitu, Akang langsung
nelpon, pasti saya angkat karena saya tidak merasa bersalah. Kenapa akang tidak
menelpon tapi hanya memarahi istri, karena akang penakut, pengecut. Sebagai
laki-laki akan tidak berani padahal itu istri Akang. Disini akang juga salah.
Jadi, jangan ingin menang sendiri.” Ahmad terus nyeroncos tak memberi kesempatan. Ia
tahu apa yang harus dikatakannya untuk menyadarkan laki-laki itu.
“Kang,
istri Akang itu istri yang baik. Saya justru salut. Sudah cantik, akhlaknya
terjaga, mau bekerja keras membantu suami. Jualan kopi dan mie rebus sampai
malam. Jaga itu oleh Akang, dukung dan bantu. Kasih modal oleh Akang, biar
warungnya maju. Kemudian, kalau istri tak boleh akrab dengan orang lain,
harusnya Akang yang jualan sebagai suami dan laki-laki, bukan malah nyuruh
istri dan Akang enak-enakan main kesana kemari. Ini kesalahan Akang yang kedua.
Mana tanggung jawab Akang sebagai laki-laki dan suami?? Saya sangat
menyangkankan yang jualannya malah istri. Kasian kang, cape seharian, sudah
malam masih di warung.”
Ahmad tak memberi kesempatan. Ia sengaja mendominasi pembicaraan. Suami itu tampak membenarkan semua penjelasannya. Laki-laki yang dicurigai itu malah kini menyadarkannya dari kesalahan.
“Kang,
sayang kalau keluarga jadi pecah. Istri juga tidak mau pisah karena sayang,
tapi Akang salah perlakuan. Seharusnya Akang bersyukur punya istri seperti ini,
sudah cantik, berjuang keras membantu suami, membantu membayar sekolah anak
Akang. Sayang Kang, anak sudah besar sekolah di perawat, perjuangan keluarga
ini jangan dirusak oleh hal-hal sepele. Ingat anak, dia harus diselamatkan.”
Pertemuan itu sekitar dua jam. Kang Ahmad menguasai pembicaraan. Karena semua ucapan tamu asing itu semuanya dirasakan benar, laki-laki itu akhirnya luluh, sadar. Setelah menyadari, “Bu, sekarang ibu minta maaf pada suami, ayo sekarang ucapkan didepannya.” Pinta Kang Ahmad, suamipun sama. Mereka berpelukan dan menangis haru saling meminta maaf di bawah kucuran rahmat dan berkah Ilahi pagi hari itu.
“Coba
sekarang panggil Ibu dan Bapak,” pinta Ahmad. “Naah Bu, Paak, begitu ceritanya
… sekarang sudah jelas permasalahannya.”
“Saya
sudah mendengar semua penjelasan Adik tadi, Bapak dan Ibu juga minta maaf telah
salah sangka. Ternyata Adik justru mau menyelamatkan keluarga anak saya.”
“Iya Pak, Bu, ini pelajaran. Kalau bisa, yang disuruh jualan itu putra Bapak bukan istrinya. Kan, mencari nafkah itu tanggung jawab suami, bukan istri. Atau bareng-barenglah, sering di warung berdua, jadi kelihatan suami istrinya, orang kan jadi tahu dan tak akan berani menggoda.”
“Iya Pak, Bu, ini pelajaran. Kalau bisa, yang disuruh jualan itu putra Bapak bukan istrinya. Kan, mencari nafkah itu tanggung jawab suami, bukan istri. Atau bareng-barenglah, sering di warung berdua, jadi kelihatan suami istrinya, orang kan jadi tahu dan tak akan berani menggoda.”
Setelah tuntas semua pembicaraan, mereka tampak rukun kembali. Ahmad pamitan diiringi senyum sumringah seluruh keluarga. Suami yang tadinya beringas, sekarang sangat hormat, tunduk dan berterima kasih tak henti-henti. “Berterima kasih pada Allah bukan pada saya. Saya mah hanya seorang musafir tukang ngopi hehe … Jadikan ini pelajaran ya, sayangi istri, banyak bersyukur, barengi di warung. Dan jangan lupa, nanti ganti nomor hp istri dengan yang baru ya.” Seluruh keluarga itu berterima kasih lagi dan Ahmad ngeluyur pergi. Sambil berjalan ia menertawakan dirinya. “Hahaha … kelakuanmu Mad …. Mad .. ada- ada saja. Berbakat juga main sinetron hehe ..!!”
Dikutip dari : http://moeflich.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar